Thursday, February 12, 2015

Menangkar Merak, Bulunya Saja Laku Dijual

Menangkar Merak, Bulunya Saja Laku Dijual

VIVA.co.id – Menangkar satwa liar butuh pengetahuan khusus sekaligus izin resmi dari pemerintah karena satwa liar adalah milik negara. Meski tak mudah, trend menangkar satwa liar di luar habitatnya mulai banyak dilakukan kelompok masyarakat yang awam dengan pengetahuan tentang satwa. Tak jarang kesehatan satwa kurang terjaga dan tingkat kematian satwa di dalam penangkaran di luar habitat alam tergolong tinggi.

Seperti yang dilakukan Surat Wiyoto, petani warga Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupatèn Madiun, Jawa Timur. Dia sudah menangkar burung merak Jawa, Pavo muticus, sejak tahun 1998.

Burung merak endemik Jawa yang dikenal dengan nama green peacock atau merak hijau itu dijualbelikan dengan harga murah. Anakan merak bisa laku Rp200 ribu, sedangkan sehelai bulu merak yang jatuh laku Rp3.000 per helai.

Namun setelah mengantongi izin dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) setempat, meraknya harus dijual dengan harga paling murah Rp20 juta. Meski berdampak buruk pada omzet penjualannya, Surat masih bisa mendapatkan penghasilan rutin dari bulu merak yang rontok.  

Berawal dari empat telur, meraknya terus berkembang biak menjadi lebih dari 100 ekor. Sebanyak 50 ekor di antaranya mati dan 30 ekor telah terjual. Tersisa 20 ekor yang terdiri dari sepuluh pasang merak jantan dan betina di kediamannya.

“Ada sekitar 50 ekor yang mati, mungkin karena kena penyakit seperti penyakitnya ayam,” kata Surat, Selasa, 10 Februari 2015.

Surat, yang mengaku tak pernah mendapat penyuluhan dari BKSDA setempat, merawat meraknya di dalam kandang berdinding bilah bambu seluas 6x10 meter. Di kandang dengan tinggi sekitar empat meter itu juga dilengkapi bilah kayu tempat merak bertengger.

Kandang beralas tanah itu rutin disemprot pestisida khusus dua kali dalam seminggu. Sementara pakan merak disamakan dengan menu pakan ayam miliknya, yaitu beras jagung, sayuran, dan buah seperti pepaya. “Kalau sakit, saya kasih obatnya ayam. Kadang sembuh tapi kadang mati,” katanya.

Kesuksesan Surat membuat iri tetangga dan kenalannya. Banyak yang datang untuk membeli merak sekaligus meminta resep berternak merak dengan aman. Tapi, menurut Surat, banyak tetangga yang gagal dan meraknya mati. “Saya tidak tahu kenapa milik tetangga banyak yang mati, mungkin karena kandangnya kurang bersih,” dia menduga.

Konservasi ala masyarakat

Penangkaran berbasis masyarakat seperti yang dilakukan Surat sudah pernah dilakukan pada spesies curuk Bali atau jalak Bali. Asosiasi Pelestari Curuk Bali (APCB) sebelumnya telah menggelorakan konservasi di luar habitat asalnya dengan melibatkan masyarakat setempat di Bali.

Ketua APCB, Toni Sumampau, menyebut konservasi satwa liar yang melibatkan masyarakat cenderung berhasil karena masyarakat ikut merasakan dampak secara langsung, dalam hal ekonomi. Program konservasi di luar habitat alam atau ex-situ pun mampu meningkatkan jumlah curik Bali dari 400 ekor di tahun 2004 menjadi 2.600 ekor per Januari 2015.

“Konservasi dengan melibatkan masyarakat cenderung berhasil karena masyarakat merasakan dampak nyata. Jenis aves adalah salah satu yang cukup mudah untuk melibatkan masyarakat,” katanya.

Selain perkembangan jumlah, penangkaran melalui konservasi ex-situ juga mengontrol harga curik Bali yang semula Rp30 juta per pasang pada 2005, kini menjadi Rp6 juta per pasang. “Curik bali yang mudah didapat menyebabkan harganya turun, maka mengurangi tekanan pencurian burung jalak Bali di alam," katanya.

Berutang satwa

Konservasi satwa ex-situ tak hanya di dalam negeri dan antarkebun binatang atau penangkar perorangan. Pemerintahan Presiden Joko Widodo sedang bersemangat untuk melakukan konservasi ex-situ dengan menggandeng banyak pihak luar negeri.

Lewat Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 83 Tahun 2014 pemerintah mengeluarkan breeding loan atau peminjaman satwa liar ke luar negeri. Peraturan itu mengizinkan semua satwa liar Indonesia untuk dipinjam dalam jangka waktu lima tahun sebelum peninjauan dan evaluasi ulang.

“Syaratnya satwa itu tak boleh tangkapan dari alam, harus minimal F1 (lahir di penangkaran),” kata Bambang Dahono Adji, Direktur Kawasan Konservasi Keanekaragaman Hayati Kementerian Kehutanan, saat ditemui di Taman Safari Indonesia II Prigen, Pasuruan, Jawa Timur, akhir pekan lalu.

Sejumlah negara kini telah mengantre untuk mengajukan breeding loan pada pemerintah Indonesia, seperti Arab Saudi, Australia, Jepang, Vietnam, Tunisia dan Inggris.

Penangkaran satwa liar di sejumlah kebun binatang dalam negeri terus dipersiapkan. Kementerian Kehutanan bekerja sama dengan Perhimpunan Kebun Binatang Se Indonesia (PKBI) akan menilai dan menetapkan kebun binatang yang layak melakukan penangkaran. Sekarang, dari 59 kebun binatang di Indonesia, hanya 29 yang telah disertifikasi dengan hasil empat kebun binatang yang bersertifikat A.

Nantinya, kebun binatang dengan sertifikat A dan B pun boleh melakukan kerja sama breeding loan dengan luar negeri. Pemerintah memprioritaskan 10 dari 25 spesies terancam punah untuk ditangkar di dalam kebun binatang.

“Ini adalah program KKH, konservsi ex-situ link to in-situ. Satwa hasil penangkaran wajib dilepasliarkan dan tak boleh terjadi inbreeding agar kualitas genetiknya tetap terjamin,” katanya.

Meski begitu, pengguna breeding loan juga harus menyiapkan sejumlah konstribusi pada lembaga konservasi dalam negeri, penyedia indukan satwa. Bentuknya bisa berupa hibah meliputi bantuan kerja sama teknis, bantuan sarana dan prasarana pendukung kegiatan in-situ dan ex-situ, alih teknologi atau pemberian satwa.

“Ini dilakukan untuk meningkatkan populasi satwa dilindungi, misalnya, banteng Jawa. Targetnya ada 25 satwa dilindungi yang harus naik 10 persen jumlahnya sepanjang Kabinet Kerja ini,” imbuhnya.

Sebanyak 25 satwa yang masuk prioritas KHH, di antaranya, gajah Sumatera, orangutan, badak, harimau Sumatera, banteng, anoa, babirusa, bekantan, elang Jawa, tapir, owa Jawa, macan tutul Jawa, genu, pesut dan kakatua jambul kuning.  

Satwa hasil penangkaran lemah

Meksi menjanjikan keuntungan bagi masyarakat, menangkar satwa liar juga berisiko buruk bagi satwa. Seperti merak milik Surat, separuh hasil penangkaran mati di kandang Surat, sementara yang terjual pun beberapa disebutkan mati di tempat baru.

Kurator Satwa Liar Taman Safari Indonesia Prigen, drh Ivan Candra, menduga, merak hasil penangkaran Surat punya kualitas daya tahan tubuh yang buruk akibat dihasilkan dari perkawinan antara keturunan dari indukan yang sama.

"Kalau dilihat dari fisik meraknya, kualitasnya sudah jauh berbeda dibandingkan merak di alam. Bulunya kurang tebal dan lebih rentan pada penyakit karena perkawinan dari satu indukan atau inbreeding," katanya.

Merak Jawa dewasa yang sehat beratnya sekitar enam kilogram dengan bulu yang tebal dan corak warna yang cerah. Satwa itu bisa ditemukan tersebar di berbagai wilayah Jawa Timur seperti Madiun atau pun Banyuwangi, terutama di sekitar hutan jati.

Jika ditangkar dengan sarana dan perawatan yang memperhatikan kesejahteraan satwa, merak bisa tumbuh dengan sehat meski lahir di penangkaran. “Keberagaman genetik penting dalam penangkaran, selain pengelolaan yang benar. Inbreeding memang tak boleh terjadi,” katanya. Taman Safari Indonesia Prigen memiliki 12 ekor merak, jumlah yang jauh lebih sedikit dibandingkan merak koleksi Surat.

Gagalnya manajemen satwa liar

Hal serupa ditegaskan lembaga konservasi satwa dan hutan yang berkantor di Malang, Protection of Forest and Fauna (ProFauna). Chairman ProFuana, Rosek Nursahid, meragukan satwa hasil breeding di kebun binatang atau lembaga konservasi ex-situ memiliki daya tahan tak sebagus satwa yang berkembang di habitat alamnya.

“Jika satwa hasil breeding dilepaskan di alam itu juga diragukan daya survivalnya,” katanya, Selasa, 10 Februari 2015.

Dia pun menilai kebijakan breeding loan yang dilemparkan pemerintah adalah cermin dari gagalnya manajemen satwa liar di kawasan konservasi alam. Menyusutnya merak, curuk Bali dan satwa liar di habitat alamnya adalah akibat dari sikap pemerintah yang tidak memberikan prioritas pada satwa di konservasi alam.

“Seharusnya satwa liar yang ada di dalam kawasan konservasi alam mendapat priorotas, termasuk soal pengamanan,” imbuhnya.

Penanganan satwa yang paling tepat, menurut ProFauna, adalah dengan memprioritaskan konservasi in-situ, di kawasan konservasi alam, sesuai habitat asalnya. Sebab tak hanya satwa yang bisa dilestarikan, dengan berkembang biak di habitat asalnya, rantai makanan dan peran satwa akan sempurna dan berimbas pada keanekaragaman flora di dalamnya.

Namun jika program breeding loan tetap berlangsung, menurutnya, harus diterapkan secara transparan untuk mencegah terjadinya eksploitasi satwa liar untuk kepentingan di luar tujuan utama penangkaran, yaitu pertambahan populasi. Sebab yang terjadi selama ini, proses pertukaran satwa yang dilakukan di dalam negeri maupun luar negeri nyaris tidak pernah diketahui masyarakat umum.

“Takutnya memberikan peluang munculnya ‘permainan’ dalam proses loan itu. Harus transparan,” katanya.

0 comments:

Post a Comment

 

© Copyright 2010 oleh HariZ| Powered By : Blogger